Total Tayangan Halaman

Total Tayangan Halaman

Total Tayangan Halaman

Rabu, 18 Juni 2014

ANTARA KERJA DAN PELAJARAN DISEKOLAH




            Pendidikan adalah hak dasar bagi setiap orang, tanpa memandang agama, kelas sosial, ras, dan jenis kelamin. Jauh-jauh hari pasca kemerdekaan para pendiri bangsa Indonesia sudah mencantumkan hak dasar pendidikan bagi setiap warga dalam undang-undang dasar. Namun, terlihat ironis masih banyak warga Indonesia yang tidak mampu bersekolah. Bahkan tak sedikit anak-anak usia sekolah tidak melanjutkan pendidikannya lantaran faktor kemiskinan. Mereka harus bekerja keras mencari nafkah membantu orang tuanya baik  di bidang pertanian,  pembantu rumah tangga, sektor jasa maupun manufaktur. Bagi mereka mungkin itu adalah sebuah kewajaran karena  menyangkut kelangsungan hidupnya. Berdasarkan surve sebuah lembaga yang fokus terhadap permasalahan pekerja anak,  tahun 2009 tercatat  ada sekitar 2,3 juta anak di Indonesia yang menjadi pekerja. Jumlah ini sebagian besar tersebar di pelosok Indonesia, namun tak sedikit pula berada di kota-kota besar. Jumlah tersebut tidak menutup kemungkinan akan terus bertambah setiap tahunnya apabila pemerintah tidak memperhatikan dunia pendidikan dan pekerja anak. Mengenai hal ini pemerintah sendiri melalui Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) akan mengembalikan pekerja anak ke bangku sekolah secara bertahap. Di tahun 2012 ada 10.750 anak yang dikembalikan ke sekolah dan ditahun 2013 ditargetkan mencapai 11 ribu pekerja anak. Aksi ini dilakukan sesuai yang diamanatkan Presiden dalam  keputusannya No. 52 tahun 2002 tentang rencana aksi nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan  terburuk anak.
            Kegiatan yang dilakukan pemerintah untuk menarik pekerja anak dan mengembalikannya ke sekolah perlu diapresiasi. Namun hal ini harus memiliki sinergi antar kementerian seperti kementerian pendidikan dan kebudayaan. Harus diketahui pula, apa yang menjadi penyebab anak-anak usia sekolah melakukan pekerjaan yang semestinya tidak dilakukannya? Sebagian besar yang menjadi penyebabnya adalah faktor kemiskinan, di mana anak-anak harus membantu orang tua mencari nafkah dengan risiko meninggalkan dunia pendidikan. Penyebab lainnya adalah faktor mahalnya biaya pendidikan, sehingga masyarakat tidak bisa menjangkaunya. Harus diakui bahwa ada perbedaan yang sangat mencolok di antara sekolah-sekolah yang ada di Indonesia, di mana kualitas pendidikan tidak menyebar secara merata.
            Pendidikan itu sangat mahal, sehingga tidak banyak penduduk Indonesia yang bisa menikmati hal yang mewah itu. Lantas siapa yang harus menyediakan sarana pendidikan bagi masyarakat Indonesia, kini walaupun segala fasilitas yang dibutuhkan untuk kelancaran proses penyelenggaraan pendidikan telah disiapkan oleh pemerintah, tetapi masih banyak masalah yang timbul sebagai akibat dari masyarakat itu sendiri., utamanya perhatian, pengertian dan kesadaran para orang tua terhadap kebutuhan pendidikan bagi anak-anaknya masih sangat rendah. Hal tersebut tampak pada adanya kecenderungan sebagian besar orang tua murid yang lebih mementingkan penggunaan tenaga anak dalam memenuhi kebutuhan keluarga daripada kepentingan anak untuk mendapatkan pelayanan pendidikan yang memerlukan waktu yang cukup.
            Ada anggapan sebagian besar orang tua bahwa anak merupakan tenaga kerja yang sewaktu-waktu dapat dibutuhkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan keluarga. Hal ini banyak berlaku di kalangan masyarakat petani dan nelayan yang dilatarbelakangi oleh pendidikan yang rendah, pendapatan yang rendah, dan pekerjaan yang tidak menentu, sehingga kebutuhan keluarga tidak dapat dipenuhi sebagaimana layaknya. Tingkat pendidikan yang rendah dapat pula berakibat pada persepsi yang negatif dan sikap orang tua yang apatis terhadap pendidikan anak.
            Pemanfaatan anak usia sekolah dasar untuk membantu orang tua mencari nafkah keluarga merupakan tindakan yang kurang peduli terhadap pendidikan anak. Dikatakan demikian, karena usia sekolah dasar merupakan masa yang paling penting dalam proses pembentukan kepribadian anak yang paling fundamental. Hal ini dikarenakan anak usia sekolah dasar merupakan masa pencarian dan pembentukan identitas diri anak terhadap dunia dan lingkungannya. Pada masa ini, anak mulai bersosialisasi dengan baik untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan dan masyarakat sekelilingnya. Oleh sebab itu, pada masa ini dituntut perhatian yang sungguh-sungguh dari orang luar dirinya, utamanya dari orang tuanya agar seluruh aspek yang terlibat dalam proses pembentukan identitas diri dapat berlangsung secara utuh. Perhatian utama dari orang tua terhadap pendidikan di sekolah dasar merupakan aspek yang paling penting, karena pendidikan di sekolah merupakan proses yang dapat melengkapi seluruh aspek kebutuhan dalam pembentukan kepribadian anak dibandingkan dengan pendidikan keluarga.
            Namun demikian, pendidikan di sekolah bagi seorang anak tidak selalu dapat berjalan mulus dan terpenuhi dengan baik disebabkan anak dimanfaatkan oleh orang tuanya untuk membantu mencari nafkah keluarga. Dimanfaatkannya anak usia sekolah dasar untuk mencari nafkah keluarga disebabkan oleh berbagai faktor, seperti: faktor latar belakang pendidikan orang tua, faktor tingkat pendapatan keluarga, dan faktor sikap orang tua terhadap pendidikan anak di masa depan.
            Latar belakang pendidikan orang tua merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya pemanfaatan anak usia sekolah dasar, karena pendidikan dapat mencerminkan wawasan mereka untuk menanggapi suatu permasalahan tertentu. Melalui pendidikan, orang tua dapat mempertimbangkan berbagai faktor yang menguntungkan kehidupan masa depan anaknya. Demikian pula, tingkat pendapatan keluarga memegang peranan penting terhadap kesempatan anak untuk mengikuti pendidikan di sekolah dasar. Pendapatan keluarga yang memadai, orang tua dapat memenuhi seluruh kebutuhan keluarga termasuk pembiayaan anak untuk sekolah. Dengan pendapatan keluarga yang memadai, orang tua dapat memenuhi kebutuhan anak dalam mengembangkan kemampuan anak-anak mereka melalui kegiatan di luar sekolah. Selain itu, sikap terhadap pendidikan merupakan suatu tanggapan atau respon orang tua terhadap pentingnya pendidikan. Bila respon orang tua terhadap pentingnya pendidikan untuk masa depan anak mereka positif, maka dapat dipastikan bahwa perhatian terhadap pendidikan anak di sekolah juga tinggi, demikian sebaliknya.
            Berdasarkan deskripsi uraian di atas, diduga bahwa latar belakang pendidikan orang tua, tingkat pendapatan keluarga dan sikap orang tua terhadap pendidikan menjadi penyebab pemanfaatan anak usia sekolah dasar untuk membantu orang tua mencari nafkah.

Ranah perbedaan HMI dan PMII



Bebicara mengenai kedua organisasi ini bukan berarti ingin menambah problematika yang muncul dari perbedaan kedua orgaanisasi tersebut, namun sebaliknya yaitu untuk mendekatkannya, karena dengan perbedaan tersebut, selain ada untungnya pada sisi tertentu juga membawa kerugian antar keduanya, bahkan semuanya.
 Salah satu contoh kerugian yang timbul dari perbedaan tersebut adalah mengganggu silaturrahmi antar keduanya, sehingga konsekuensinya adalah anggota HMI tidak mudah diterima oleh golongan PMII, dan anggota PMII juga tidak mudah diterima oleh Golongaan HMI, jika yang terjadi adalah demikian, maka organisasi kemahasiswaan tersebut tidak lebih banyak membawa keberuntungan, bahkan hanya menambah kemudharotan. sejatinya, kedua organ tersebut sama-sama merupakan wadah bagi mahasiswa untuk mengembangkan dan mengasah wawasan  ilmu pengetahuan.
Letak perbedaan yang ada pada kedua organisasi tersebut hanyalah pada idiologi dan proses pengkaderan yang ada dalam organisasi tersebut. Namun, pada sejatinya perbedaan tersebut bukanlah alasan untuk kita saling menjelekkan satu sama lain, bahkan sebaliknya kita harus mampu mengambil hikmah atas perbedaan tersebut. (khilaafu Ummati Rahmatun) perbedaan yang ada pada ummatku adalah rahmat, demikian penjelasan yang ada dalam suatu hadits.
Sering kita mendengar bahwa organisasi yang bernama HMI itu adalah aliran Muhammadiyah, sehingga mahasiswa yang ikut HMI juga dianggap sebagai aliran Muhammadiyah,  maka sebagai mahasiswa yang masih berbasis NU harus masuk PMII. Pernyataan seperti itu sama sekali tidak benar, HMI bukanlaah aliran dari muhammadiyah. Pernyataan seperti itu hanyalah sebatas manofer politik yang dilontarkan oleh golongan tertentu yang pada saat itu tidak senang dengan keberadaan HMI. Salah satu bukti bahwa HMI bukanlah aliran dari Muhammadiyah yaitu adanya kader yang ada dalam organisasi HMI yang dilatarbelakangi oleh  basis yang berbeda-beda. Ada yang berbasis NU dan ada yang berbasis muhammadiyah. Pada intinya aliran apapun bisa masuk dan pasti diterima menjadi anggota HMI asalkan bukan dari aliran Kristen.
Jika yang sering menjadi permasalahan hanyalah karena sebuah aliran yaitu antara muhammadiyah dengan NU, maka penulis disini selain ingin menegaskan kalau HMI itu bukan aliran Muhammadiyah, penulis juga perlu menjelaskan bahwa tidak ada alasan apapun yang dibenarkan untuk saling mejelekkan apalagi saling memarjinalkan satu golongan dengan yang lainnya, Perbedaan antara NU dan Muhammadiyah jika diperhatikan secara saksama, sebenarnya  hanya  berada pada ranah ritual saja. Lagi pula,  aspek ritual itu  juga tidak berada pada wilayah yang mendasar. Orang menyebutnya hanya pada aspek yang sifatnya cabang atau furu’.  Perbedaan itu hanya di seputar bagaimana ritual itu dijalankan. Misalnya, jamaáh NU ketika shalat subuh melengkapi dengan qunut, sedangkan Muhammadiyah tidak.
Apa saja  yang terkait dengan ritual mestinya bukan diperdebatkan, melainkan seharusnya segera dijalankan. Berdebat soal ritual tidak akan membawa hasil, dalam arti diketemukan  mana yang paling duluan diterima dan yang ditolak oleh  Tuhan. Tidak akan ada seorang pun yang tahu bahwa ritualnya diterima atau ditolak. Penerimaan dan atau penolakan kegiatan ritual adalah hak prerogative Tuhan sendiri.   Seseorang mungkin menang dalam berdebat, maka sebenarnya belum tentu benar-benar menang di hadapan Allah.  Bisa saja yang terjadi justru sebaliknya,  bahwa mereka yang kalah,  karena ritualnya dilakukan secara lebih khusuk dan ikhlas justru diterima. Sebaliknya,  pihak yang menang hanya akan mendapatkan kemenangannya di hadapan orang.



PENTINGNYA RASA SOLIDARITAS ANTAR UMMAT BERAGAMA



Perhatikanlah wahai kaulamuda, marak sekali kita jumpai perseteruan dan pergolakan antar Bangsa, Agama, Social, Politik dan pergolakan antar orgaanisasi kelompokpun kerap kita jumpai. Ini menjadi persoalan dan tanda Tanya besar apabila hanya dibungkam begitu saja, sebaiknya kita melakukan tali erat silaturrahmi (akhuwah islamiah) terhadap sesama taNpa pandang kelas, suku, ras dan kelompoknya.
                Persoalannya, dalam perseteruan tersebut membawa nama harum simbolis anutan antar ummat tersebut menjadi amoralis, ditopang oleh ego masing-masing individu yang kemudian mencoba merongrong nilai normalis bangsa itu sendiri. Dari sinilah rasa solidaritas atau rasa saling berbagi kebaikan antar saudara sudah kelam bagai ditiup angin dan ditelan bumi.
                Ibnu Kholdun (Al-Kitab) Tafsir berkata, “tidak akan pernah sesat orang yang selalu menjaga solidaritasnya”  hal senada juga diungkapkan oleh tokoh sosiologi bahwa “solidaritas memperkuat terbagunnya pondasi Bangsa dan Negara (Soejono Soekanto)
                Dalam islam juga menekankan pada kita sebagai hamba Allah untuk tidak bercerai berai, yakni harus selalu bersatu padu, karena sesungguhnya diantara kalian itu adalah saudara. Jelas kata solidaritas merangsang atau menstimulus  kita sebagai mahluk sosial, kelompok, maupun Bangsa menjadi lebih baik dan konsisten pada lambang Nasional.

Menyikapi aksi tauran pelajar



                Seperti yang diketahui pada saat ini semakin marak dilakukannya aksi tauran antar pelajar. Tidak sungkan-sungkan aksi tauran ini merenggut nyawa yang sangat bernilai harganya, tidak hanya ditingkat sekolah menengah ke atas (SMA) tapi, pelajar sekolah menengah pertama (SMP) juga ikut menggelar aksi yang sangat merugikan tersebut. Biasanya, tauran ini dilakukan karena permasalahan pribadi yang akhirnya memicu terjadinya bentrok antar pelajar.
                Para pelajar ini masih banyak yang belum mengerti dampak dari apa yang akan terjadi apabila mereka melakukan aksi anarkis yang tidak hanya mencoreng nama baik sekolaah mereka, namun juga merusak fasilitas-fasilitas masyarakat.
                Aksi tauran pelajar seakan tidak ada hentinya. Jika hal tersebut masih saja dibiarkan begitu saja, maka tidak menutup kemungkinan mereka akan menyimpulkan bahwasanya “tawuranlah yang bisa menyelesaikan permasalahan mereka”.  Bisa saja nantinya bukan buku dan alat-alat sekolah yang akan dibawa ke sekolah, melaainkan senjata tajam yang nantinya akan dijadikan alat untuk menulis luka dan dendam yang tiada akhir,  jika kebiasaan tauran antar pelajar ini masih terus dibiarkan. Dan ini akan menjadi virus yang tergolong cepat penularannya dari satu pelajar ke pelajar yang lain dan dari satu sekolah ke sekolah yang lain.
                Lalu, dimana peran mahasiswa dalam menyikapi masalah tauran ini ?. Maka, sebagai mahasiswa yang menyandang  tri fungsi mahasiswa  yang diantaranya adalah social control, maka sudah seharusnya ada tindakan paling tidak sumbangan solusi terkait dengan tindakan amoral para putra bangsa ini, apalagi mahasiswa adalah kakak-kakak dari adik-adik siswa ini.
                Jadi, perlulah kita sebagai mahasiswa untuk saling mengingatkan kepada adik siswa kita untuk tidak melakukan hal yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Dan juga memberikan peringatan bahwasanya dalam menyelesaikan masalah bukan memakai otot, tapi otak. Dan bukan juga dengan kekerasan, tapi dengan kekerabatan. Stop tauran,….! stop kekerasan,….! Mari wujudkan Indonesia yang tentram dan damai.